Memberdayakan (Ruang) Anak Kampung Pondok Pucung #1

Bayangkan desain sebagai sebuah generator. Desain yang bekerja selayaknya mesin generator. Desain yang bekerja bukan untuk dirinya sendiri, namun untuk menerangi dan membangun yang lain. Untuk itu DAG (Design as Generator–www.dagedubrag.org) lahir sebagai sebuah ruang kumpul kreatif yang dibentuk oleh beberapa orang yang percaya bahwa desain seharusnya menjadi kampiun yang memberdayakan serta mendorong terjadinya perubahan di dalam kelompok masyarakat. Visi dan Misi DAG adalah: Menjadi ruang berbagi informasi ilmu desain praktis dan aplikatif dengan konsentrasi desain berkelanjutan ber-teknologi sederhana (low technology) untuk masyarakat Indonesia utamanya bagi kelompok masyarakat yang paling membutuhkan dan berharap bermuara pada penyebaran secara viral perubahan ke arah yang lebih baik melalui desain. DAG sendiri akan menjadi ruang paripurna yang bergerak dalam ruang maya hingga ruang faktual yang seluruhnya didedikasikan bagi masalah pemberdayaan masyarakat melalui desain dan arsitektur.
 
Maka state of the Art DAG adalah memberdayakan warga kampung-kota melalui desain dengan pendekatan partisipatif. Dalam makalah ini DAG akan mengisahkan tentang upaya membangun ruang kreatif untuk anak-anak di Kampung Pondok Pucung, Tangerang Selatan, sebuah kampung ‘sisa’ yang berada di tengah-tengah sebuah komplek perumahan mega modern. Bertajuk ‘KaKiKuKeKo’ (Kampung Kita Kumpul Kreatif Kompak), program ini dirancang untuk mengaktivasi imajinasi anak-anak Kampung Pondok Pucung. Secara kreatif hal ini kemudian diterjemahkan menjadi desain ruang yang dibangun secara kolaboratif serta partisipatif langsung bersama anak-anak. Mengapa anak-anak? Karena anak-anak adalah harapan dan masa depan.Untuk mencapai tujuan tersebut DAG membangun metodologi spesifik yang dapat mengakomodasi penelitian-tindakan-desain secara bersamaan. Metodologi spesifik ini digunakan untuk membangun tema strategis yang berkelindan dengan ruang dan aktivitas keseharian manusia sebagai dasar pelaksanaan penelitian-tindakan-desain DAG.
 
Metodologi spesifik ini mengombinasikan PAR (Participatory Action Research) dan DT (Design Thinking). Menurut Taggart (1994, 2006) PAR bekerja berdasarkan praktik yang digerakkan oleh basis teoretis. PAR adalah sebuah penelitian yang berlandaskan ekplorasi dan obyektifikasi pengalaman dan pendisiplinan subyektifitas (McTaggart, 1994). Dengan demikian PAR akan membuat ruang gerak siklis dinamis antara tindakan pelaksanaan penelitian dan aksi yang bertujuan untuk memberi perubahan dalam suatu kelompok komunitas atau masyarakat. Sementara itu DT menurut Tim Brown (2008 & 2009) adalah cara berpikir mumpuni untuk menghadapi permasalahan-permasalahan kiwari. Menurutnya yang paling diperlukan saat ini adalah cara berpikir komprehensif, bekerja kolaboratif dan selalu berorientasi pada kebutuhan manusia yang mengedepankan inovasi untuk memastikan keberlanjutan. 
 
Brown dan Wyatt (2010) kemudian melihat bahwa DT dapat digunakan secara efektif sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial dengan mendorong terjadinya inovasi yang menjadi syarat berkelanjutannya (Wyatt, 2010). Hal ini kemudian bermuara pada penyusunan alat kerja HCD (Human Centered Design) – sebuah alat kerja untuk mendorong terjadinya inovasi dalam sebuah proyek sosial. Alat kerja ini bekerja melalui 3 tahapan: (1) H(ear) – mendengarkan dan mengumpulkan cerita inspiratif dari komunitas; (2) C(reate) – bekerja bersama-sama anggota komunitas untuk menerjemahkan kisah-kisah tersebut menjadi kerangka kerja, identifikasi peluang, pemecahan permasalahan dan pembuatan prototipe, dan; (3) D(eliver) – saat dimana semua pemangku kepentingan bekerja sama merancang rencana implementasi yang berkelanjutan (IDEO team, 2013). DT-HCD ini akan berfungsi sebagai jembatan penghubung antara dimensi sosial dan desain. 
Untuk membuat kombinasi PAR dan DT ini dapat berjalan maka model kerja yang digunakan adalah model MMR (Mixed Methods Research), yaitu Sequential Embedded Experimental (model Penelitian Eksperimental Berkelindan Berkelanjutan; Creswell & Clark, 2007). Dalam rangkaian model ini PAR dan DT beroperasi dengan sangat baik untuk mengizinkan desain bekerja dan diselidiki secara kuantitatif – sebagai sebuah inovasi desain dan desain sebagai eksperimental sosial, sekaligus juga secara kualitatif – sebagai sebuah pengalaman dan apresiasi dari upaya desain yang partisipatif. Metode kombinasi ini diharapkan akan memberikan nilai baru pada desain, utamanya dalam keutamaan inovasi dan responnya terhadap konteks sosial dimana berada (Katoppo dan Sudradjat, 2015). Bagan  di bawah menjelaskan hubungan tersebut dan bagaimana bekerja sebagai metodologi spesifik penelitian-tindakan-desain DAG.
 
Metode kerja kombinasi spesifik ini kemudian diterjemahkan secara operasional teknis dan menghasilkan 3 tema strategis pemberdayaan DAG yang dikenal dengan ‘Karsa’,’Asa’ dan ‘Rasa’.  ‘Karsa’ adalah mengenai bagaimana mengidentifikasi nilai-nilai dalam suatu komunitas, dan karenanya akan selalu berhubungan dengan cara bagaimana membangkitkan kenangan terhadap situasi dan kondisi masa lampau sebagai hal yang inspiratif. ‘Asa’ adalah tentang harapan, dan karenanya akan selalu berhubungan dengan apa yang diimajinasikan komunitas tentang masa depan. ‘Rasa’ adalah tentang mengalami dan memaknai sebuah pengalaman, sehingga DAG selalu terikat ruang dan karenanya juga selalu berada di kekinian. Bagaimana 3 tema strategis pemberdayaan DAG bisa muncul melalui tautannya dengan metodologi spesifik penelitian-tindakan-desain DAG. Tulisan ini kemudian berfokus kepada penjelajahan tema strategis DAG ‘Asa’ – yang berbicara tentang harapan dan imajinasi tentang masa depan bersama aktor komunitas yang paling pantas mewakili masa depan: anak-anak.

Kisah Program ‘Kakikukeko’ 

Kampung tempat tim DAG melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat adalah di Kampung Pondok Pucung, Tangerang Selatan, Banten, Jawa Barat. Kampung ini berada di daerah pinggir perkotaan yang sejatinya adalah kampung asli hunian masyarakat Betawi. Karena perkembangan pembangunan pemukiman modern di area pinggir kota, kampung ini kemudian terdampak melalui penjualan tanah oleh warganya secara masif kepada pihak pengembang. Maka area kampung yang tersisa ditembok oleh pengembang untuk menandakan batas antara area kampung dan area pemukiman modern yang dibangun. Secara kasat mata bisa terihat dan terasa perbedaan perkembangan kedua area tersebut. Area pemukiman modern dibangun tertata dengan segala kemapanan sarana dan infrastrukturnya, sementara area kampung yang hanya bersebelahan tetap seperti kondisi awalnya–berkembang dengan bebas sesuai status kepemilikannya, tanpa tata ruang formal, juga minim sarana dan infrastruktur yang layak maupun perhatian terhadap kondisi lingkungan yang nyaman dan sehat. Namun demikian layaknya sebuah kampung, suasana keseharian masyarakat kampung Pondok Pucung guyub, hangat, ramah nan menyenangkan. Nuansa kedekatan hubungan antar keluarga dan antar kelompok warga dengan semua warna perayaan budaya dan keagamaan juga menjadi rona sehari-hari kampung ini.
 
Pada tahun 2014 tim DAG mulai merancang dan membuat program untuk anak-anak kampung Pondok Pucung. Program-program yang dibuat berupaya untuk meningkatkan kreativitas dan penanaman kesadaran terhadap kebersihan lingkungan bagi anak-anak, yang dikemas dengan cara bermain bersama mereka. Tim DAG mengajak anak-anak untuk mengumpulkan sampah yang bisa didaur ulang di sekitar lingkungan untuk kemudian secara kreatif membuatnya menjadi permainan atau benda berguna lain yang dapat menarik minat mereka. Untuk meluaskan inisiasi program bermain bersama anak-anak, tim DAG kemudian juga berencana untuk menghadirkan sebuah taman bermain untuk anak-anak, dengan memanfaatkan lahan kosong milik warga anggota salah satu klan keluarga besar di kampung. Taman ini digagas karena tim DAG melihat bahwa masih sangat beragam aktivitas bermain anak-anak di kampung dan terjadi secara aktif di ruang luar. Akan tetapi ruang luar untuk bermain anak ini semakin lama semakin berkurang karena bertambahnya bangunan yang didirikan di dalam kampung. Ruang terbuka yang masih tersisapun seringkali digunakan secara tidak bertanggung jawab untuk membuang sampah sembarangan warga. Sehingga tak jarang anak-anak bermain di lahan yang penuh timbunan sampah atau di sepanjang jalan lingkungan.  
 
Taman yang tim DAG usulkan diberi nama ‘taki’–singkatan dari taman kita, sebagai taman yang dibuat bersama, milik dan untuk warga, adalah sebuah taman yang utamanya akan berfungsi sebagai ruang bermain anak-anak. Taki juga akan menjadi semacam taman kreatif yang  di dalamnya akan memiliki fitur-fitur interaksi kreatif dan edukatif mengenai pengetahuan lingkungan bestari (seperti sistem pengelolaan sampah, pemanenan air hujan, pemanfaatan tanaman produktif dan lain-lain) untuk anak-anak dan warga (Valencia dan Katoppo, 2015).
 
Proses penyampaian gagasan kepada warga–terutama sang pemilik lahan, perencanaan dan perancangan hingga sistem konstruksi taki yang modular dan dapat dipindah, pendekatan dan kelindan (engagement) dengan anak-anak dilakukan oleh tim DAG. Namun setelah hampir 2 tahun bernegoisasi, pemilik lahan tidak bisa memberikan izin karena lahan tersebut akan dibangun rumah sewa atau kontrakan bagi para warga pendatang–dan memang pada awal tahun 2016 rencana tersebut akhirnya terealisasi. Hasil evaluasi tim DAG menunjukkan bahwa pada saat awal inisiasi metode spesifik DAG masih belum terbangun dengan baik dan belum cukup teruji. Dalam kasus taki, ide dan desainnya muncul dengan terlalu banyak mengandalkan analisis hasil pengamatan tim saja, walaupun dilakukan secara mendalam, bukan hasil dari kelindan erat antara tim DAG dengan warga maupun anak-anak kampung Pondok Pucung, sehingga juga minim partisipasi aktif dari anggota-anggota komunitas kampung ini. Sehingga hasil desain masih berada dalam fase konsultasi obyek alih-alih hadir sebagai sebuah subyek kolaborasi.
Berbekal pengetahuan tersebut dan menolak untuk menyerah dari upaya menyediakan ruang bermain kreatif untuk anak-anak Kampung Pondok Pucung, maka tim DAG mengubah strategi pendekatan melalui 2 hal: (1) Memetakan aktivitas bermain anak–yang akan dilakukan bersama-sama dengan anak-anak, sebagai aktor utama dari program ini, dan (2) Merespon aktivitas bermain anak-anak yang berhasil dipetakan tersebut dengan intervensi-intervensi desain yang tujuannya lebih berfungsi sebagai pemantik kreativitas, dan (3) mencoba membuat simulasi ruang kreatif untuk anak-anak Kampung Pondok Pucung. Program ini kemudian dinamakan ‘KaKiKuKeKo’–sebuah program untuk mengaktivasi ruang kreatif bagi anak-anak Kampung Pondok Pucung, dengan tujuan mencerdaskan mereka melalu cara bermain yang lebih kreatif. Nama ‘KaKiKuKeKo’ sendiri digunakan untuk mengingatkan proses belajar membaca dengan penggunaan huruf hidup, dan merupakan singkatan dari Ka-mpung Ki-ta, Ku-mpul, KrE-atif dan Ko-mpak. Program ‘KaKiKuKeKo’  bertujuan untuk mendorong terjadinya produksi pengetahuan kota oleh warganya sendiri, sehingga warga bisa mendefinisikan arti ruang kota–tempat menghuni warga dalam terminologi mereka sendiri. Selain itu program ini didukung oleh Yayasan daun–yang peduli terhadap pembangunan kreativitas dan sikap inovatif anak-anak, mahasiswa/i dan pengajar Universitas Pelita Harapan (UPH) dari Desain Interior dan Desain Komunikasi Visual, School of Design dan Departemen Psikologi.
 
Oleh 
Martin L Katoppo & Ruth E Oppusunggu 
 
Diambil dari Srawung Kampung-Kota
KampungnesiaPress, 2017 

Berita Terkait